BEI dari Zaman ke Zaman


Pagi itu, di Dam Square, Amsterdam, para pedagang saling meneriakkan dagangannya masing-masing. Para pejalan kaki hilir mudik di sepanjang jalan dan beberapa ada yang membeli barang. Begitulah suasana di Amsterdam tahun 1611. Barang dagangannya juga unik, yaitu saham 🙂 . Lebih spesifik lagi yang diperdagangkan adalah saham dan obligasi CIOC (Camere der Oost-Indische Compagnie) yang lebih kita kenal dengan nama VOC. CIOC/VOC saat itu membutuhkan dana yang cukup besar untuk melakukan ekspedisi ke kepulauan Indonesia. Dana yang diperoleh dari jalanan di sekitar katedral di Dam Square itulah yang membawa armada dagang Belanda tersebut menjejakkan kakinya di Indonesia dan menjajah Indonesia selama 3,5 abad. Para pemegang sahamnya sendiri menikmati capital gain dan dividen yang berasal dari kekayaan alam bumi Indonesia.

Saham VOC, Sumber: Katanya Dia

Saham VOC sendiri merupakan salah satu saham tertua di dunia dan diterbitkan pada tahun 1606, lima tahun sebelum bursa Amsterdam berdiri. Pada buku “Retrospeksi Lima Tahun  Swastanisasi BEJ” (1997), disebutkan bahwa pada saham tertua tersebut tercatat transaksi pembelian saham CIOC/VOC atas nama Dirk Pieterz Straetmaker sebesar total 600 gulden. Dari investasi tersebut, Tn Dirk Pieterz  berhak mendapatkan imbal hasil sebesar 600 gulden yang akan dibayarkan dalam tempo 10 tahun. Dalam kenyataannya seperti yang tertulis di efek tersebut, Dirk Pieterz menerima hasil investasi secara penuh dalam waktu 14 tahun atau setara dengan 7,14% per tahun. VOC sendiri akhirnya bangkrut pada tahun 1799 dan diakuisisi oleh Kerajaan Belanda dengan meninggalkan utang sebesar 137,7 juta gulden. Peranan VOC digantikan oleh 3 bank yang didirikan oleh Kerajaan Belanda, yaitu:

  1. Nederlandsche Handel Maatschapij (NHM), didirikan pada tahun 1824 yang dikemudian hari berubah nama menjadi Bank Exim.
  2. Nederlandsche Indische Escompto Bank yang di kemudian hari dinasionalisasikan dengan nama Bank Dagang Negara (BDN).
  3. Nederland Indische Handels Bank (NIHB) yang berdiri pada tahun 1863 dan pada jaman kemerdekaan Indonesia berganti nama menjadi Bank Bumi Daya (BBD).

Zaman Penjajahan

Pada masa penjajahan Belanda, jual beli efek dimulai pada abad ke-19, tepatnya pada tahun 1880. Beberapa saham yang diperjualbelikan pada saat itu antara lain adalah perusahaan perkebunan Cultuurmaatschappij Goalpara (Jakarta/Batavia) dan harian Het Centrum (Yogyakarta). Bursa efek Batavia sendiri berdiri pada tanggal 14 Desember 1912 dan merupakan bursa tertua keempat di Asia  setelah Bombay (1830), Hongkong (1871),  dan Tokyo (1878). Yang menarik, di bursa Batavia juga diperdagangkan saham-saham asal Amerika Serikat seperti ACF Industry, American Motors, Anaconda Copper, dan Bethlehem Steel. Bethlehem Steel merupakan saham blue chip di US dan masuk ke dalam Dow Jones Industrial Average (DJIA). Pada tanggal 11 Januari 1925, di Surabaya didirikan bursa efek Surabaya yang beranggotakan 6 brokerage. Bursa ketiga lahir di Semarang pada tanggal 1 Agustus 1925. Ketiga bursa tersebut dimerger dengan pusat di Jakarta dan akhirnya ambruk juga pada tahun 1940 ketika perang dunia II pecah.

Zaman Awal Kemerdekaan

Besarnya beban utang pemerintah pada tahun 1950 menjadi pencetus pendirian kembali bursa efek Jakarta. Pada saat itu, bursa efek bertempat di De Javasche Bank (Bank Indonesia). Pada awal berdirinya, efek yang diperjualbelikan adalah Obligasi Republik Indonesia tiga persen 1950 yang merupakan guntingan sebelah kanan dari mata uang hasil (sanering). Efek lain yang dijual adalah Obligasi Kotapraja Bogor empat persen. Bursa efek Jakarta ini hanya bertahan sampai dengan tahun 1958 yang seolah-olah menghilang. Walaupun bursanya masih ada, namun hampir tidak ada aktivitas sama sekali sampai dengan tahun 1977. Ketika secara resmi dibuka kembali pada tahun 1977 dengan emiten pertama adalah Semen Cibinong dan Danareksa sebagai penjamin efek, bursa efek Jakarta masih tersendat-sendat jalannya sampai dengan tahun 1988. Masalah utama selama kurun waktu 1958-1988 tersebut adalah sangat jarangnya orang yang mengerti tentang masalah pasar modal sehingga mulai tahun 1988 diadakan pendidikan intensif mengenai pasar modal kepada hampir seluruh pelaku bursa saham. Dampaknya mulai terasa dan baru pada tahun 1989 pasar modal berkembang dengan pesat dengan Pakdes 1987 dan Pakto ’88 sebagai katalisator.

Tahun 1989 benar-benar merupakan era kebangkitan BEJ. Semua orang berbicara tentang bursa, mulai dari sopir taksi, pembantu rumah tangga, tukang becak, sampai ibu-ibu di salon. Oleh karena itu tidak heran jika tahun 1989 disebut sebagai ‘masa kasmaran’ bursa efek.

BEJ di Era Modern

Modernisasi BEJ dimulai pada tahun 1992 ketika BEJ diserahkan pada pihak swasta dan mulai meluncurkan JATS (Jakarta Automatic Trading System). Pada tahun 1995 terbitlah UU Pasar Modal yang menjadi menjadi pedoman hukum pasar modal sampai dengan saat ini. BEJ sendiri merger dengan BES dan membentuk Bursa Efek Indonesia seperti yang kita kenal saat ini.

This entry was posted in Dongeng Investasi and tagged , . Bookmark the permalink.

1 Response to BEI dari Zaman ke Zaman

  1. Sidiq Atto says:

    bursa efek indonesia ternyata keren juga ya

    Like

Sampaikan komentar Anda