P/E Ratio and P/BV Revisited


Kedua rasio ini tentunya sangat kita kenal. Ketika membicarakan suatu saham, sering sekali terlontar pertanyaan: “Berapa PE nya?”P/E ratio adalah sebuah rasio sederhana yang hanya melibatkan harga saham dan earning-per-share  membuat orang bisa membayangkan apakah suatu saham dijual dengan harga mahal atau murah. Walaupun secara cepat dapat memberikan gambaran tentang mahal murahnya suatu saham, P/E ratio memiliki kelemahan yang tak terhindarkan. Karena denominator rasio tersebut adalah EPS, dengan hanya melihat P/E ratio kita tidak akan mengetahui apabila ternyata ada keuntungan penjualan aset yang melambungkan EPS-nya. Penjualan aset umumnya hanya terjadi satu kali dan tidak terulang pada tahun berikutnya. Hal ini menyebabkan kita mendapatkan informasi yang bias apabila hanya melihat P/E ratio. Pada kasus lain, keuntungan ataupun kerugian kurs seringkali berpengaruh besar terhadap laba perusahaan. Sebuah perusahaan mengalami tahun yang bagus bisa terlihat jelek karena adanya kerugian kurs yang besar. Begitu pula sebaliknya, keuntungan kurs yang besar akan membuat perusahaan terlihat bagus walaupun kinerjanya menurun. Tentu saja kasus-kasus tersebut jarang terjadi.  Walaupun begitu kita harus selalu teliti. Sebaiknya keputusan kita untuk membeli atau menjual suatu saham harus melewati analisis terperinci dan tidak hanya karena P/E ratio-nya tinggi atau rendah.

Rasio lain yang sering menjadi bahan perbincangan adalah P/BV (price-to-book value). Secara sederhana P/BV didapatkan dengan membagi harga saham dengan ekuitas per lembar saham. Nilai P/BV = 1 mengindikasikan bahwa market cap sama dengan ekuitasnya atau dengan kata lain saham dijual pada book value. Umumnya semakin kecil P/BV-nya, suatu saham dianggap lebih murah. Anggapan tersebut mungkin benar akan tetapi pada kenyataannya hampir semua saham blue chip dijual dengan P/BV yang tinggi. Jika kita berpatokan hanya pada P/BV, kemungkinan besar kita akan melewatkan peluang-peluang investasi pada perusahaan yang bagus.

Mengapa?

Katakanlah saat ini P/BV suatu saham adalah 1. Jika ROE (return on shareholder equity) saham tersebut adalah 20%, maka dapat dikatakan return yang didapatkan oleh investor juga 20%. Secara intuitif kita akan mengetahui bahwa dengan ROE yang tetap, saham dengan P/BV yang lebih rendah akan memberikan return yang lebih besar.  Demikian pula sebaliknya, jika P/BV naik, maka return yang kita dapatkan akan turun. Masalahnya, banyak perusahaan dengan kondisi fundamental yang bagus dijual dengan P/BV yang tinggi. Bagi saya hal tersebut masih wajar. Lho kok bisa?

Secara historis, ROE rata-rata emiten di IDX adalah 18% (untuk saat ini sebaiknya diterima dahulu pernyataan tersebut. Saya akan menceritakannya di lain waktu 🙂 ) . Implikasi dari munculnya angka tersebut cukup besar. Jika suatu emiten memberikan ROE  yang lebih besar daripada 18%, pasar akan mengapresiasinya dengan mengijinkan harganya naik sehingga P/BV-nya juga naik.  Emiten yang memiliki ROE 36% (dua kali lipat ROE rata-rata) akan memiliki P/BV yang tinggi.

Mari kita perhatikan persamaan berikut:

P/BV      =  Price / shareholder equity per share

                =  (Price / EPS) x (EPS / shareholder equity per share)

Jadi:

P/BV      =  P/E ratio x ROE

Jika suatu emiten memiliki P/E ratio 10x dan ROE 20%, maka P/BV nya akan menjadi 2x.

Apakah implikasi penting dari persamaan tersebut?

  1. Walaupun memiliki P/E ratio yang rendah, emiten dengan ROE yang tinggi akan mengakibatkan P/BV nya melambung. Pada kasus ini, tingginya P/BV masih dianggap sebagai hal yang wajar dan memang inilah yang terjadi pada perusahaan-perusahan yang bagus.
  2. Pada banyak kasus, rendahnya P/BV diakibatkan oleh kinerja yang buruk. Salah satu penyebabnya adalah rendahnya ROE.
  3. Emiten blue chip yang banyak mendapatkan sorotan publik dan analis saham biasanya memiliki P/E ratio dan ROE yang tinggi sehingga P/BV nya pun sangat tinggi. Tidaklah mengherankan banyak yang mengatakan bahwa saham blue chip biasanya kondisi fundamentalnya stabil akan tetapi potensi return-nya juga tidak terlalu tinggi.

Kesimpulan sederhana yang bisa kita dapatkan adalah:

  1. Pada kondisi normal, sebaiknya kita mencari perusahaan bagus dengan harga yang wajar. Mungkin kita tidak akan mendapatkan saham blue chip karena harganya sudah terlalu mahal. Di sinilah kejelian kita dalam menemukan perusahaan yang bagus diuji. Anda akan heran saat menemukan banyak sekali perusahaan bagus  yang sahamnya dijual dengan harga sangat murah karena dilupakan oleh pasar.
  2. Ketika bursa saham crash, kita akan mendapatkan kesempatan untuk mengumpulkan saham-saham blue chip dengan harga yang murah. Tidak tertutup kemungkinan kita akan mendapatkan saham dengan ROE yang tinggi dan P/E ratio yang rendah.
This entry was posted in Analisa Fundamental Saham (Bedah Bisnis) and tagged , , . Bookmark the permalink.

13 Responses to P/E Ratio and P/BV Revisited

  1. Asep Sopyan says:

    Rumus baru yg sangat berharga. Terima kasih Kakang Parahita.

    Like

  2. Davi Sukses says:

    Pak Parahita, nanya ya di luar topik, koq annual report 2011 bbrp prsh seperti MYOR AISA ADMF gak ada ya ? Di website prsh nya juga g ada. Apa mereka gak serahkan ke IDX atau IDX gak upload ?

    Like

  3. parahita says:

    @Davi Sukses
    Biasanya untuk AR memang agak terlambat disubmit

    Like

  4. alvian says:

    Pak, maaf mau bertanya… EPS itu earning per share? kalo menghitung P/BV bukannya pake equity per share ? 2 hal itu beda ga? thx.

    Like

  5. parahita says:

    @alvian
    lho kan bener P/BV = price / shareholder equity per share

    Like

  6. alvian says:

    oh iya. maaf salah baca. trima kasih pak.

    Like

  7. tovan says:

    Saya kurang sependapat dgn anda. saya punya punya logika rumus sendiri, yg hasilnya dengan ROE 20%, akan menghasilkan PBV 2,5. tetapi ROE yg saya pake adalah Laba bersih dibagi ekuitas tahun sebelumnya (anda jg pernah membahas roe model ini). Mungkin lain hari bisa saya bagi2 disini pemikiran saya..
    salam

    Like

  8. parahita says:

    @tovan
    Dengan senang hati 🙂

    Like

  9. putra says:

    Maaf Pak, menurut saya rumus diatas benar tapi kok gak ada relevansinya dgn nilai intrisik saham ya? Dgn rumus diatas kan belum ketauan saham itu murah atau mahal, hanya utak-atik rasio2 yg ada.
    Jadi klo kita sudah tau nilai closing Price, Eps, Roe dan BV kan tidak bisa tau apakah saham itu mahal atau murah. Kalau kita tau closing price, eps , dan roe akhir tahun 2011 maka akan ketemu BV nya. klo kita tau price, eps, BV, maka akan ketemu roe-nya. dan begitu seterusnya dibolak balik
    Sama misalnya klo dimeja: Apel dikanan, jeruk dikiri. klo jeruk saya pindah ke kanan apel, maka apel berada di sisi kiri jeruk.
    Jadi sebenernya semua Data Price, eps, Roe dan BV diatas semuanya kan sudah tercantum dalam laporan keuangan?

    terima kasih. Dan salut untuk Blog yang amat mendidik dan langka dijumpai seperti milik anda ini

    (dari seorang pembelajar)

    Like

  10. parahita says:

    @putra
    Investasi saham tidak hanya berkaitan dengan nilai intrinsik 😀

    Like

  11. Kay says:

    Pak Parahita, terima kasih banyak untuk artikelnya… Finally nemu yang saya cari karena masih bingung mengenai EPS, PER dan PBV
    Pak saya mau tanya, untuk menentukan EPS pada saat awal tahun seperti ini (Q1-2013) saya baca-baca ngitung asumsi EPS tahun berjalan menggunakan EPS Trailing Twelve Months/ EPS TTM. Tapi dari beberapa sumber yang saya baca, cara menghitungnya beda-beda, contoh case di Q1 – 2013, ada yang menghitung dengan cara :
    1. EPS TTM = Q1 2013 + Q1 2012 + Q2 2012 + Q3 2012
    2. EPS TTM = Q1 2013 + Q2 2012 + Q3 2012 + Q4 2012
    3. EPS TTM = Q1 2013 + (Q2 2012 – Q1 2012)
    Cara menghitung yang benar yang mana ya pak? Kalau yang no 3 sebenarnya saya tidak terlalu yakin sih tapi saya post juga karena sapa tau emang benar 🙂

    Like

  12. beaujolais says:

    untuk menghitung EPS TTM di Q1 2013 ==> EPS Q1 2013 + EPS Q4 2012 – EPS Q1 2012

    Like

  13. parahita says:

    @beaujolais tks

    Like

Sampaikan komentar Anda